Cerita Di Ujung Senja: Anak Buah Kondektur

11.05


taken by flavia
short trip to Baluran



Bukan sebuah puisi bukan juga skripsi. Ini hanya susunan paragraf deskripsi.

Terhitung tiga minggu sejak tulisan ini diunggah, aku bersama empat kawan petualang memulai perjalanan panjang jauh ke ujung timur Pulau Jawa. Tepatnya di Taman Nasional Baluran, Kabupaten Banyuwangi. Kali ini aku tidak akan mengulas serunya liburan aku di Baluran. Namun, aku ingin mengajak teman-teman semua untuk melihat lebih jauh. Atau bahasa ilmiahnya Duc in Altum.
Setelah menikmati gelombang pantai, gagahnya hutan mangrove, sabana, gunung, dan beramah tamah dengan monyet Baluran, kami bertolak ke Malang untuk melanjutkan perburuan. Saking serunya bermain di pantai, tak terasa sudah setengah hari berlalu. Rute yang kami lalui adalah Baluran (Banyuwangi)-Situbondo-Probolinggo-Malang—rute yang memakan waktu sekitar 8-9 jam. Rute itu senilai dengan kurang lebih Rp50.000-Rp100.000 tergantung jenis bis apa yang dinaiki.
Keluar dari pintu gerbang Baluran kami segera naik bis arah Probolinggo. Bis yang asal kami naiki supaya segera sampai di Malang. Bagi aku  pengalaman menggunakan bis ekonomi antarkota dengan jarak yang cukup jauh adalah satu hal yang berharga pada liburan kali ini. Saat pintu bis dibuka oleh kondektur bis adalah saat yang cukup mencemaskan. Apakah aku bisa duduk atau……berdiri—terkadang. Yah pada akhirnya aku hanya berpasrah diri. Apapun yang terjadi, semoga kaki dikuatkan dan kursi bis cepat didapatkan. Perlahan-lahan kaki menapaki anak tangga bis dan…… Bis yang asal kami naiki ini penuh saudara-saudara. Penuh dengan wanita yang membawa anak kecil dan bapak-bapak yang telah selesai bekerja. Bahkan ada sekeluarga warga negara asing yang membawa keempat anaknya. Panik? Jelas. Karena saat itu aku sangat-sangat lelah dan ingin sekali duduk. Beruntungnya bapak kondektur yang baik nan budiman mengarahkan aku untuk ke depan dan duduk di kursi sayap kanan di baris kelima. Yes. God only knows.
Dua jam menempuh perjalanan aku pindah kursi ke bagian depan, sekitar 3 kursi dari depan bersama temanku. Aku sangat beruntung dari awal aku mendapat tempat duduk hingga tujuan akhir. Entah apa yang terjadi jika dari awal bis tersebut sudah penuh terisi. Kekhawatiranku cukup beralasan karena aku perhatikan kondektur bis ini senang memasukkan penumpang meski penumpang yang berdiri sudah cukup banyak. Itu bukan hal yang tepat memang. Namun, itulah yang harus dia lakukan untuk mendapat uang demi mempertahankan kelangsungan hidup. Seringkali hidup membawa seseorang ke situasi yang sulit.

since i didn't take his picture
Bapak setengah baya pekerja proyek
Mentari mulai berpaling ke ufuk barat. Temanku menunjuk ke satu arah dan memberitahuku bahwa penumpang itu sudah ada sejak di daerah proyek dekat pembangkit listrik tenaga panas bumi. Bapak setengah baya yang memakai topi proyek dan membawa tas ransel. Berdiri di bagian depan, lalu berjalan ke arah belakang sambil mengarahkan penumpang lain untuk duduk di tempat yang kosong. Saat penumpang yang berdiri mulai ememnuhi lorong tengah dia akan berdiri depan. Dia berlaku seolah kondektur bis itu. Tapi aku yakin dia bukan kondektur, karena tidak berseragam sama dengan supir dan kondektur. Dia juga penumpang.
Bis berhenti di sebuah pom bensin. Beberapa diantara kami turun, sisanya duduk di dalam. Aku kembali mengingat dimana tempat bapak itu naik. Perkiraanku tempatnya berjarak dua jam dari pom bensin ini. Lumayan jauh. Kulihat lagi di mana bapak itu berada. Dia tidak duduk, malah turun dari bis sambil meregangkan otot dan melemaskan lututnya yang terlihat sangat pegal. Dari raut wajahnya terpancar bahwa beliau sedang memikirkan banyak hal. Sungguh memilukan.
Bis berjalan kembali, bapak itu masih saja berdiri, menaikkan penumpang, dan mengarahkan penumpang. Sepanjang pengamatanku, dia yang memberitahu supir jika ada penumpang yang akan turun dan yang memeriksa apakah ada calon penumpang yang naik.Tak seperti sang kondektur, dia tidak memungut uang. Dua jam setelah dari pom bensin tadi, bis mulai melambat. Bapak itu berdiri di samping supir sambil menunjuk arah rel kereta api. Dia segera tersenyum dan melambaikan tangan ke arah kondektur yang duduk dibelakang. Bis berhenti 50 meter di belakang rel kereta api. Bapak itu turun. Melenggang menuju sebuah gang kecil.
Tidak seperti penumpang lainnya, dia berdiri sepanjang perjalanan. Walau ada kursi kosong, dia tetap berdiri. Biarkan aku menyebutnya anak buah kondektur karena telah membantu separuh pekerjaan untuk mengatur penumpang. Motif utamanya itu jelas bukan membantu si kondektur tapi ingin menghemat biaya perjalanan pulang ke rumah. Ia tidak perlu membayar tiket bis, karena sepanjang perjalanan ia sama sekali tidak duduk.
Sore itu, aku belajar banyak hal. Hal pertama yang terlintas dalam pikirku adalah betapa penakutnya aku. Tidak mendapat kursi bus saja sangat takut setengah mati. Hidup itu keras, saking kerasnya sering membawa kita ke situasi yang benar-benar sulit. Aku rasa anak buah kondektur itu sedang mengalami masa yang sulit. Berdasar perkiraanku, saat itu menjelang lebaran. Keadaan makin menjadi karena inflasi terjadi. Pendapatan konstan namun harga barang-barang cenderung naik. Agar pundi-pundi rupiah tidak semakin menipis, dia menjadi anak buah kondektur agar dapat memangkas ongkos transportasi. Uang senilai tiket bis bisa ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan lain. Setidaknya dia melakukan sesuatu, bukan membohongi kondektur ataupun mencuri.  
Hal kedua yang aku dapat petik pada sore itu bukan tentang hal berhemat. Situasi yang sulit akan membawa seseorang ke dalam dua pilihan, yang baik dan buruk. Tidak selamanya kesulitan membuat orang melakukan tindakan yang buruk. Kali itu, situasi yang sulit membawa seorang pekerja proyek berperan menjadi anak buah kondektur. Membawanya melakukan sesuatu, pengorbanan. Dia mengorbankan kekuatan kakinya untuk tahan berdiri selama empat jam demi mendapat tumpangan bis gratis untuk pulang. Semoga pengorbanan sore itu tidak sia-sia.
(just can't wait for another trip :))  


contemplation 

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

https://www.facebook.com/flaviadomitilla.saraswati

Flickr Images

Subscribe